LAHIRNYA ILMU TAUHID DALAM ISLAM
LAHIRNYA ILMU TAUHID DALAM ISLAM
Ilmu Tauhid dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dalam agama islam pada masa Rasul belumlah ada. Pada masa kehidupan Rasul, para umat dan pengikutnya tidak banyak bertanya tentang apa yang disampaikan Rasul, tetapi mereka bersikap “sami’na wa atha’na” (kamu dengar dan kami taati). Karena Itulah ilmu tauhid belum menjadi suatu ilmu. Akan tetapi, setalah Rasul wafat dan umat Islam pun semakin luas dan berkembang lalu muncullah berbagai persoalan dalam bidang ajaran keTuhanan. Mengahadapi persoalan-persoalan itu, maka para ulama mencoba mengkaji ajaran tauhid dari sumber ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadist dengan maksud untuk :
1.Memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan ketauhidan yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat islam sebagai akibat logis dari dinamika perkembangan sosial umat Islam.
2. Memberikan jawaban terhadap pengaruh-pengaruh kepercayaan dan paham-paham yang telah memasuki dunia islam yang oleh para ulama dipandang sebagai ancaman dan bahaya bagi kemurnian akidah umat Islam.
3. Mengkonkritkan (upaya memperjelas) ajaran ketauhidan karena oleh para ulama masalah ini di anggap masih bersifat samar (belum jelas) dalam Al-Qur’an dan Hadist bagi masyarakat awam.
Rumusan para ulama tentang keesaan Tuhan dan bagaimana cara ber-Tuhan yang benar, semakin lama semakin berkembang dan meluas dengan beberapa nama : Ilmu Tauhid, Ilmu Ma’rifat, Ilmu Aqo’id (aqidah), ilmu kalam, Teologi Islam dan Fiqhul Akbar.
Dinamakan Ilmu Tauhid karena yang terpenting dibicarakan dalam ilmu ini adalah tentang keesaan Allah SWT dengan sebersih-bersihnya (Thaib Tahir Abd. Mu’in: tt:11) atau menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatannya dalam menjadikan alam semesta, dan hanya Dia-lah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini (A.Hanafi, MA: 1979:11). Dan yang terpenting tujuan mempelajari ilmu ini agar dapat mengenal keesaan Allah (tauhid ilmu), mengakui keesaannya (tauhid syahadah), dan mengaktualisasikan ilmu dan pengakuan tadi dalam bentuk aktifitas (tauhdi fi’liyah/amaliyah).
Dinamakan Ilmu ma’rifat kerena tujuan utama dari pembahasan ilmu ini adalah untuk mengenal Allah (ma’rifat al-allah). Dengan mempelajari ilmu manusia diharapkan dapat mengenal Allah dengan sebenarnya dan penuh keyakinan. Dengan mempelajari Ilmu ini manusia akan mengenal (ma’rifat) dirinya, asal kejadiannya, tujuan penciptaannya, mengetahui apa yang harus dilakukannya dan mengetahui akhir jalan hidupnya.
Ilmu tauhid disebut juga dengan nama ilmu Aqa’id. Dinamakan Ilmu Aqa’id karena tujuan utama dari pembahasan ilmu ini adalah agar setelah memahami nya kita dapat meningkatkan seluruh pikiran, perasaan dan aktifitas hidup hanya kepada Allah semata, bukan kepada yang lain. Arti kata Aqidah sendiri adalah “ikatan” , sedangkan secara istilah Isalm Aqidah maksudnya adalah, “apa” yang menjadi ikatan hati dan perbuatan”.
Dinamakan ilmu kalam adalah karena persolan yang amat penting turut dibicarakan dalam ilmu ini juga menyangkut firman allah (kalamullah) yaitu Al-Qur’an : apakah dia Qadim atau Baharu, apakah Azali atau Non Azali. Sebab kedua adalah karena para ulama dalam mepertahankan pendapatnya mengenai keqadiman atau kebaharuan, kezalian atau ke non azalian Al-Qur’an itu menggunakan dalil pikiran, kemahiran bertutur kata = kalam.
Dinamakan ilmu Ushuluddin karena ilmu ini membicarakan pokok pokok agama, ajaran dasar suatu agama Islam. Ushul = asal,dasar,dan ad-Din = Agama. Jadi ushuluddin berarti ajaran dasar atau pokok agama.
Ajaran yang paling mendasar dari setiap agama adalah membicarakan tentang keTuhanan dan Islam sebagai agama yang paling sempurna juga menempatkan pembicaraan dan pengenalan tentang Tuhan sebagai pondasinya. Seperti Sabda Nabi : Artinya : “ Awal mula dasar agam itu adalah mengenal Allah”.
Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam faham keagamaan. Tiap-tiap agama kecuali Budhisme yang asli berdasar atas kepercayaan pada sesuatu gaib, dan cara hidup tiap-tiap manusia yang percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubungannya dengan kepercayaan tersebut. (Dr. Harun Nasution, 1979:27).
Komentar
Posting Komentar